Thursday, August 27, 2009

Bosan Ada Di Bawah Telapak Kaki Diri

Solat Jum'at. Orang orang muslim selalu bilang itu pada beberapa jam sebelum zuhur pada hari jumat, "Nggak bisa, gua solat jumat dulu nanti", "Solat jumat dimana nih?", atau "Solat jumat nggak ya?". Sok-tau-nya gua, definisi empiris dari solat jumat itu adalah sebuah ibadah wajib yang bertujuan mempererat tali silaturahim sesama muslim, yang isunya fungsi utama itu udah nggak terlalu diperhatiin lagi sama orang orang muslim. Bukan, bukan solat jumat atau hal reliji lainnya yang pengen gua bahas di sini, tapi apa yang biasa dilakukan oleh mayoritas kependudukan mesjid pelaksana solat jumat dalam melaksanaan solat jumat itu sendiri. Begini tata caranya, si pelaksana sampai di mesjid, duduk di tangga tepat di atas pesan 'Batas Suci', melepas ikatan tali sepatu bagi pemakainya atau melepas sendal bagi pemakainya, lalu ke tempat wudhu, wudhu, keluar tempat wudhu yang apabila berpapasan dengan bidang cermin datar maka kita akan transit untuk meyakinkan diri bahwa diri kita adalah ganteng dengan pose pose sudut kemiringan abstrak, mencari tempat duduk yang pas, duduk, mendengarkan ceramah, lalu solat. Lantas, dimana letak permasalahannya?

Ceramah, ceramah agama, menurut survei spontanitas mata Indonesia remaja, 9% memperhatikan dengan seksama ceramah tersebut, 14% sudah terlampau tidur dengan posisi duduknya, 19% anak anak yang bermain, 21% diam tanpa perlakuan, dan 37% berbicara dengan teman sebelahnya. 5 kaum dalam 1 kegiatan. Mungkin semua mempunyai kesamaan dalam soal keadaan, mereka berada di tempat yang sama dan waktu yang sama, juga tujuan yang sama. Tapi, apa ada perbedaannya? Ya! Jelas terlihat perbedaannya, jika dilihat, 4 kaum mempunyai kegiatan yang ia tekuni saat sesi ceramah agama, tapi apa yang dilakukan 1 kaum lagi? Hanya kaum 21%, kaum yang diam tanpa perlakuan, hanya kaum itu yang tidak mempunyai kegiatan tertekuni. Lalu kenapa? Sebenarnya, jika dilihat melalui mikroskop keisengan, perbedaan tadi akan sirna apabila lensa okuler didekatkan pada kaki para kaum 21% itu.

Ternyata mereka mempunyai kegiatan rutin dibalik kediaman yang mereka lakukan, yaitu 'Merusak Kaki'. Sadar? Atau justru menjadi pelaku? Entah kegiatan tersebut dapat diklasifikasikan dalam orde permainan, rutinitas, acara formal, atau ketiganya. Tapi satu yang jelas, mereka 'Merusak Kaki' untuk kabur dari atmosfer kebosanan yang dialami. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan di kaki itu. Karena gua juga salah satu pemain olahraga dinamis ini, jadi gua juga sedikit tau apa saja yang dilakukan. Kadang ada yang mengelupas kulit kaki bagian bawah mereka tanpa peduli kuantitas kulit yang mereka miliki. Mereka menguliti telapak kaki bagian bawah, atau biasanya juga menguliti bagian pinggir kulit dari ibu jari kaki. Tujuannya? Nihil! Tapi justru mereka sangat asik berpatisipasi dalam gerakan menguliti kaki mereka. Siapa yang tidak bermuka serius ketika menguliti telapak kaki saat ceramah tersebut, berbagai macam kurva bibir muncul sebagai responden keseriusan aktivitas mereka. Ironis memang, bahwa non-fiksinya, kegiatan tersebut juga dapat membuat suatu 'Parfum Atom'. Ada sebagaian dari mereka yang tidak melakukan kegiatan menguliti, tetapi mengukukan. Mengukukan berarti mengelupas kuku kuku yang terlihat panjang dan berpotensi untuk dikelupas. Kuku ibu jari kaki adalah prioritas utama. Dan apabila kuku panjang sudah tercabut dari ibu jari, maka, tidak sedikit dari kaum 21% yang memasukan kegiatan mencium kuku kaki sebagai hobi utama dalam motivasi dalam suatu organisasi ke-bosanan. Kuku kaki itulah yang dapat kita subjekkan sebagai produsen utama dari prouduk 'Parfum Atom'. Ukurannya yang 'Atom', dan baunya yang 'ATOM'. Tapi 'Parfum Atom' ini hanya dapat dinikmati oleh si pemilik kuku itu. Namun berbahaya nantinya apabila terdapat partisipan lain yang ikut mencium 'Parfum Atom' tersebut.

Kaya akan kegiatan bukan telapak kaki kita?

Tak Jempol, Tradisional dan Tenar

Tau nggak, permainan menyebut angka dan menyamakannya dengan jumlah jempol yang berdiri, biasanya dimainkan oleh minimal dua orang dan maksimal tak hingga. Sistem permainannya begini, misalkan yang main dua orang, maka dua orang itu saling berhadapan kemudian menyatukan kedua kepalan tangan mereka dengan posisi jempol berada di atas. Lalu mereka bermain bergiliran, jika giliran si A, maka si A akan menyebut angka yang limitnya berkisar antara 0 - x. X=jumlah maksimal jempol yang ada, jika 2 orang berarti 4 jempol. Lalu si A akan menyebut angka tersebut, imajinasikan saja si A menyebut "TIGA!", lalu kedua pemain akan mendirikan jempol mereka dari posisi tidur dengan sesuka hati, lalu jumlah jempol yang berdiri akan dihitung, apabila jumlah jempol yang berdiri sama dengan angka yang disebut, maka si A dinyatakan menang dalam gilirannya, lalu dia menarik satu kepalan tangannya ke belakang, dan sisalah 1 kepalan tangan lagi. Aturan menangnya begini, siapa yang cepat menghabiskan kepalan tangannya, maka si X itu yang menang, jadi setiap pemain membutuhkan dua kemenangan untuk memenangkan pertandingan. Kebayang?

Kemudian timbul pertanyaan, diskusi, debat, dalam koordinasi otak gua, kapan permainan itu pertama kali dipopulerkan? Darimana asal permainan itu? Siapa yang membuat tata cara permainan itu? Darimana idenya? Siapa yang mempopulerkan? Apa gua yang terlalu ke-desaan sehingga gua nggak tau asal muasal permainan itu. Apa itu asli dari Indonesia? Apabila iya, gua bakal bangga, dan kenapa nggak untuk mengadakan olimpiade permainan itu, seru, menantang, menegangkan, menguji adrenalin, ramai, dan asik. Gua sendiri termasuk pemain permainan itu, gua sering memainkan itu dikala waktu bosan sedang mendengarkan/menunggu/metidakngapangapain. Walaupun gua belum pernah masuk dalam timnas permainan itu.

Permainan itu? 6 kosa kata, kata ayah gua, yang namanya nama panggilan itu, tidak afdol jika lebih dari 3 kosa kata. Apapun itu pendapatnya, apapun tanggapan yang datang atas ke-sok-tau-an gua ini, gua sebut permainan itu sebagai TAK JEMPOL

Gapura Manusia 'Heng'

Gapura, pintu masuk, yang keliatan pertama, hiasan, anggap ini sebagai introduksi, sinopsis, ada apa dengan Manusia 'Heng', ada apa dengan sekeliling gua, dan ada apa dengan gua yang menulis blog ini. Gua Fendi, cuman panggilan itu yang sering lalu lalang di kuping selama 16 tahun 6 bulan gua hidup.

Manusia 'Heng', dua buah kata yang gua terjemahkan secara frontal dari kata Hangman. Ini membuat koordinasi otak gua mengingat sama kejadian beberapa jam silam di rumah temen satu tempat les gua, anggep aja ibunya menuliskan Gundam pada akte kelahirannya. Kebetulan tadi siang sepulang gua sekolah, gua ngebantuin si Gundam nginstall+ngajarin adob toko foto di rumah Gundam. Di tengah kesibukan nginstall, kurang lebih terjadi percakapan antara Gundam dan gua,
Gua : "yaudah, jadi mau gambar apa nih?"
Gundam : "apa ya fen, gua bingung mau gambar apa, gua nggak bisa gambar"
Gua : "jailah, apa kek, apa yang lo bisa gambar ya gambar aja, entar discan"
Gundam : "nggak bisa fen, nih (ngegambar), tuh, gua cuman bisa gambar hangman, gua nggak bisa gambar orang orang gitu"

Hangman, Hengmen, Hangman, Hengmen, gua mulai sedikit tertarik sama makhluk legendaris itu, Hangman. Yang gua tau, dan yang gua sok-tau, hangman itu mainan tebak kata berdasarkan petunjuk-petunjuk yang berujung kematian. Kematian itu disimbolkan sama gambar garis yang nunjukin kalo itu adalah orang yang digantung mati. Apa hangman itu berhubungan sama orang yang rela digantung-gantung setiap permainan dimulai, apa hangman dengan hang yang berhubungan dengan komputer konslet. Simpel, anak kecil selalu menggambar orang dengan struktur yang serupa dengan karakter utama pada permainan Hangman ini, apa karena sama maka si Gundam nyebut bahwa dia cuman bisa gambar hangman, sebuah kepala lingkaran, dan garis yang menyerupai badan, tangan, dan kaki. Tapi siapa sangka, setelah gua iseng-iseng, justru hangman ini bisa ngasih berlima koma dua juta informasi dengan posisi tangan, kaki, dan badan yang berbeda. Ini ngingetin gua sama pelajaran tempat les gambar gua yang hobi ngecat dinding vilanya sama warna merah, kata salah satu gurunya, garis itu udah cukup bisa ngasih suatu informasi, sebuah kesan. Kumpulan garis ini yang sekarang lagi gua blog-in, kumpulan garis yang ngasih informasi bahwa bentuk itu adalah hangman. Ini udah nunjukin bahwa bagian kompleks dari anatomi badan manusia bisa disimplikasikan dengan 6 buah garis, menjadi sebuah Hangman.

Hangman, apa nggak ada kata yang lebih ngewakilin kumpulan 6 buah garis ini? Apa emang udah melewati proses labeling sehingga menjadi suatu hukum yang nyebut apapun itu informasi dari si Hangman ini, dia adalah Hangman. 6 buah garis, 1 garis kepala, 1 garis badan, 2 garis tangan, dan 2 garis kaki. simpel, tetapi bermakna kompleks.

Nggak, nggak, bukan karena Raditya Dika sukses ngonvert blognya menjadi buku sukses, bukan karena gua dapet banyak inspirasi dari film Kambing Jantan, bukan karena gua pengen hidup gua dinarasikan, bukan karena tuntutan hukum positif sosial remaja, bukan karena iseng gua nulis blog ini.
Gua cuman pengen nyampein hal-hal simpel dalam visual audio kehidupan kita sehari-hari dalam bentuk yang kompleks. Bukan untuk merumitkan kehidupan, tapi justru untuk membuat semuanya sadar, coba berpikir simpel aja dari narasi kompleks akan hal sederhana dalam kehidupan yang rumit ini. Kebanggaan pribadi kalo blog ini bisa nambahin kurva di bibir horizontal pembaca.

Kenapa Manusia 'Heng'? Bahasa Indonesia itu menarik, kaya, fleksibel, kritis. Superman, manusia super, kenapa nggak Hangman, Manusia 'Heng'? Hang atau Heng? Itu bisa dijelaskan sama teori pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selamat menanggapi narasi! Dan gua sok-tau atas semua yang gua tulis di blog ini