Kenapa harus beremosi sedih ketika melihat pedagang atau pengemis di jalanan?
Bukankah kita (anak orang mapan) juga sama dengan mereka?
Memangnya kita (anak orang mapan) sudah punya uang sebanyak mereka?
Kita sama-sama berusaha, bedanya kita dibiayai, mereka tidak.
Jika sedih melihatnya, kenapa tidak terlebih dahulu sedih pada dirimu sendiri?
Monday, July 16, 2012
Sunday, June 17, 2012
Pada Dasarnya
Kebanyakan dari akademisi tidak suka
mempelajari hal yang mendasar.
Kebanyakan dari akademisi tidak merasa perlu
mempertanyakan pertanyaan yang sudah dianggap terjawab oleh kebanyakan orang.
Kebanyakan
dari akademisi lebih suka mengerjakan yang “nyata”, sesuatu yang sudah pasti
dan biasa digunakan dalam dunia kerja, katanya.
Kebanyakan dari akademisi
terperangkap dengan khayalan profesi yang diiming-imingkan oleh institusi
akademis, budaya, dan tren, karena mitosnya profesi mendatangkan uang yang akan
menunjang perekonomian kehidupan mendatang, katanya.
Sehingga kebanyakan dari
akademisi masih bingung dan belum percaya diri ketika diminta untuk menjelaskan “pada dasarnya”.
Gosipnya, universitas memberikan pembelajaran ilmu-ilmu dasar pada mahasiswa sebelum mereka terjun ke dunia "nyata".
Namun, pada dasarnya?
“If you can’t explain it simply, you don’t
understand it well enough” (Albert Einstein).
Saturday, October 22, 2011
Sebuah Kelas Atau Stasiun Tugas
Ibarat pohon, apa yang diajarkan di Universitas Sekian hanya (bahkan langsung) bunganya saja, tapi daun, ranting, batang, apalagi akarnya sekedar dianggap sebagai teori sunah belaka.
Etimologi dari kata pada nama mata kuliah hanya disuguhkan dengan 1 slide power point (bahkan 1 kalimat).
Proses asistensi dengan alternatif hanya diwajibkan via lisan, tidak ada budaya yang diajarkan untuk membiasakan mahasiswa dalam membuat alternatif.
Kelas hanya dijadikan sebagai stasiun tugas, dan 100 menit perkuliahan rasanya menjadi hambar karena mendadak asistensi dijadikan topik utama.
Etimologi dari kata pada nama mata kuliah hanya disuguhkan dengan 1 slide power point (bahkan 1 kalimat).
Proses asistensi dengan alternatif hanya diwajibkan via lisan, tidak ada budaya yang diajarkan untuk membiasakan mahasiswa dalam membuat alternatif.
Kelas hanya dijadikan sebagai stasiun tugas, dan 100 menit perkuliahan rasanya menjadi hambar karena mendadak asistensi dijadikan topik utama.
Sunday, August 28, 2011
Pengemis, Namanya Fenomena
Saya adalah penumpang berbagai macam kendaraan (penumpang, bukan pengendara), jika dikaji dari sudut bukan-kebahasaan bahwa penumpang yang kata dasarnya adalah tumpang sebenarnya adalah suatu kegiatan statis yang hening menunggu proses menuju tujuan, dengan bantuan dari pengendara tentu saja. Jelas sekali jika pengertian tersebut mengabarkan bahwa kegiatan menumpang adalah kegiatan yang penuh dengan kediaman, kekosongan, ke-tidak-aktif-an, dan memicu potensi bosan, derita, atau justru fusi dari keduanya.
Apakah hal tersebut harus dirasa sebagai kegiatan yang merugikan? Jelas, itu sangat merugikan. Untuk siapa? Tentu saja untuk orang orang yang tidak pernah menumpang. Tapi bagi mereka yang melakukan rutinitas tumpang, berarti mereka yang justru menjadi reseptor manfaat lebih dari si pengendara, apalagi dari mereka yang tidak berkendara atau bertumpang (hanya berdiam). Kodrat sebagai penumpang memang hanya diam, namun kodrat tersebut memberi banyak oleh-oleh yang akan dibawa oleh si penumpang, entah oleh-oleh itu mau dikonsumsi sendiri atau dibagi-bagi kepada khalayak umum dan non-umum.
Manusia lahir satu paket dengan pancaindranya. Pancaindra adalah teknologi yang lebih mutakhir dari kata teknologi itu sendiri. Teknologi tersebut adalah yang memberi kemampuan kepada kita, manusia, untuk melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan sumbangan. Menerima sumbangan, memberi sumbangan, membuat sumbangan, menggunakan kembali sumbangan, mengatur sumbangan, bahkan membuang sumbangan. Sumbangan tersebut adalah segala sesuatu yang berkaitan dan berada di sekitar diri manusia, yang nantinya akan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang terjadi dengan manusia itu. Mata menerima sumbangan visual dan memberi sumbangan air mata juga belek, telinga menerima sumbangan audio dan mengatur sumbangan informasi keseimbangan, hidung menerima sumbangan aroma dan kadang membuang sumbangan padat juga cair, kulit menerima sumbangan rabaan juga rasaan lalu dan memberi sumbangan perlindungan juga keringat, dan mulut menerima sumbangan apapun (asal ukurannya muat) dan memberi sumbangan dari internal tubuh seperti muntah atau karbondioksida misalkan. Dan masih banyak sumbangan yang bisa dijabarkan lagi, coba jabarkan sendiri agar Anda sadar kekurangan dari penjabaran saya.
Sekarang mari hubungkan kegiatan statis yang disebut sebagai menumpang dengan penggunaan teknologi mutakhir yang dijabarkan tadi. Semua yang terjadi di depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut (diiringi lagu hapalannya), dan dimanapun yang ada di sekitar diri si penumpang, adalah yang disebut sebagai fenomena jika dilihat dari software kamus besar bahasa Indonesia yang baru saya unduh beberapa bulan lalu. Fenomena tersebut terjadi tanpa kita minta, tapi segala fenomena itu bisa kita minta untuk dijadikan oleh-oleh. Tidak perlu izin untuk memintanya, tidak perlu harga mahal untuk memintanya, tidak ada orang yang harus diminta untuk memintanya, semua fenomena itu gratis disajikan untuk memberi sumbangan pada diri manusia, tentu saja dengan menggunakan teknologi mutakhir yang bernama pancaindra itu.
Namun kenyataannya yang terjadi di beberapa tahun (semoga belum menjadi puluhan apalagi ratusan) belakangan ini, banyak teknologi yang tidak cukup mutakhir menghalangi kelancaran kinerja teknologi mutakhir yang kita bawa dari lahir ini. Seperti teknologi yang memberi sumbangan audio pada teknologi lebih mutakhir bernama telinga, teknologi yang mendekatkan-yang-jauh-menjauhkan-yang-dekat dengan komunikasi-antar-buah nya yang memberi sumbangan komunikasi terhadap teknologi lebih mutakhir bernama mata dan jari. Untung saja belum ada teknologi yang menyajikan fitur scent-player (atau ada?). Akibat dari pemblokiran kinerja teknologi mutakhir bernama pancaindra tersebut akhirnya banyak fenomena gratis yang diabaikan, padahal fenomena terjadi sebegitu banyak dan seringnya dalam kegiatan menumpang. Terlebih sangat rugi bagi para penumpang yang tidak mengenal teknologi kurang mutakhir itu, tapi tetap mengabaikan fenomena, dengan kegiatan (yang mungkin) menyenangkan bernama bengong.
Pengabaian fenomena tersebut akhirnya menjadi budaya tidak-memperhatikan-fenomena yang akut menyerang para pengguna teknologi-kurang-mutakhir itu. Sehingga banyak dari kaum lokal muda yang kurang bahkan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, yang lebih mengenal dan peduli dengan interlokalnya daripada intralokalnya sendiri. Akhirnya fenomenalah yang menjadi pemohon dalam transaksi informasi gratis tersebut untuk dapat diresepsi oleh para reseptor muda, reseptor muda yang suka menumpang. Sehingga kegiatan statis tersebut akan seterusnya statis, tanpa fenomena, tanpa oleh-oleh.
Cuma untuk Anda, para penumpang pengabai fenomena, penyia-nyia pancaindra. Bukan untuk Anda para pengendara, karena Anda sangat berjasa dalam melahirkan profesi penumpang. Tapi untuk Anda, para penumpang pencuri fenomena, selamat, Anda kritis dan ceria!
Apakah hal tersebut harus dirasa sebagai kegiatan yang merugikan? Jelas, itu sangat merugikan. Untuk siapa? Tentu saja untuk orang orang yang tidak pernah menumpang. Tapi bagi mereka yang melakukan rutinitas tumpang, berarti mereka yang justru menjadi reseptor manfaat lebih dari si pengendara, apalagi dari mereka yang tidak berkendara atau bertumpang (hanya berdiam). Kodrat sebagai penumpang memang hanya diam, namun kodrat tersebut memberi banyak oleh-oleh yang akan dibawa oleh si penumpang, entah oleh-oleh itu mau dikonsumsi sendiri atau dibagi-bagi kepada khalayak umum dan non-umum.
Manusia lahir satu paket dengan pancaindranya. Pancaindra adalah teknologi yang lebih mutakhir dari kata teknologi itu sendiri. Teknologi tersebut adalah yang memberi kemampuan kepada kita, manusia, untuk melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan sumbangan. Menerima sumbangan, memberi sumbangan, membuat sumbangan, menggunakan kembali sumbangan, mengatur sumbangan, bahkan membuang sumbangan. Sumbangan tersebut adalah segala sesuatu yang berkaitan dan berada di sekitar diri manusia, yang nantinya akan berpengaruh terhadap segala sesuatu yang terjadi dengan manusia itu. Mata menerima sumbangan visual dan memberi sumbangan air mata juga belek, telinga menerima sumbangan audio dan mengatur sumbangan informasi keseimbangan, hidung menerima sumbangan aroma dan kadang membuang sumbangan padat juga cair, kulit menerima sumbangan rabaan juga rasaan lalu dan memberi sumbangan perlindungan juga keringat, dan mulut menerima sumbangan apapun (asal ukurannya muat) dan memberi sumbangan dari internal tubuh seperti muntah atau karbondioksida misalkan. Dan masih banyak sumbangan yang bisa dijabarkan lagi, coba jabarkan sendiri agar Anda sadar kekurangan dari penjabaran saya.
Sekarang mari hubungkan kegiatan statis yang disebut sebagai menumpang dengan penggunaan teknologi mutakhir yang dijabarkan tadi. Semua yang terjadi di depan, belakang, kanan, kiri, atas, bawah, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut (diiringi lagu hapalannya), dan dimanapun yang ada di sekitar diri si penumpang, adalah yang disebut sebagai fenomena jika dilihat dari software kamus besar bahasa Indonesia yang baru saya unduh beberapa bulan lalu. Fenomena tersebut terjadi tanpa kita minta, tapi segala fenomena itu bisa kita minta untuk dijadikan oleh-oleh. Tidak perlu izin untuk memintanya, tidak perlu harga mahal untuk memintanya, tidak ada orang yang harus diminta untuk memintanya, semua fenomena itu gratis disajikan untuk memberi sumbangan pada diri manusia, tentu saja dengan menggunakan teknologi mutakhir yang bernama pancaindra itu.
Namun kenyataannya yang terjadi di beberapa tahun (semoga belum menjadi puluhan apalagi ratusan) belakangan ini, banyak teknologi yang tidak cukup mutakhir menghalangi kelancaran kinerja teknologi mutakhir yang kita bawa dari lahir ini. Seperti teknologi yang memberi sumbangan audio pada teknologi lebih mutakhir bernama telinga, teknologi yang mendekatkan-yang-jauh-menjauhkan-yang-dekat dengan komunikasi-antar-buah nya yang memberi sumbangan komunikasi terhadap teknologi lebih mutakhir bernama mata dan jari. Untung saja belum ada teknologi yang menyajikan fitur scent-player (atau ada?). Akibat dari pemblokiran kinerja teknologi mutakhir bernama pancaindra tersebut akhirnya banyak fenomena gratis yang diabaikan, padahal fenomena terjadi sebegitu banyak dan seringnya dalam kegiatan menumpang. Terlebih sangat rugi bagi para penumpang yang tidak mengenal teknologi kurang mutakhir itu, tapi tetap mengabaikan fenomena, dengan kegiatan (yang mungkin) menyenangkan bernama bengong.
Pengabaian fenomena tersebut akhirnya menjadi budaya tidak-memperhatikan-fenomena yang akut menyerang para pengguna teknologi-kurang-mutakhir itu. Sehingga banyak dari kaum lokal muda yang kurang bahkan tidak peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, yang lebih mengenal dan peduli dengan interlokalnya daripada intralokalnya sendiri. Akhirnya fenomenalah yang menjadi pemohon dalam transaksi informasi gratis tersebut untuk dapat diresepsi oleh para reseptor muda, reseptor muda yang suka menumpang. Sehingga kegiatan statis tersebut akan seterusnya statis, tanpa fenomena, tanpa oleh-oleh.
Cuma untuk Anda, para penumpang pengabai fenomena, penyia-nyia pancaindra. Bukan untuk Anda para pengendara, karena Anda sangat berjasa dalam melahirkan profesi penumpang. Tapi untuk Anda, para penumpang pencuri fenomena, selamat, Anda kritis dan ceria!
Friday, October 16, 2009
Sampah Veto, Lekang Oleh Notifikasi
GREEN! Mungkin pada era sekarang ini kata tersebut sudah mengalami perluasan makna, dari yang hanya berperan sebagai penunjuk warna, sekarang bertambah menjadi "menyelamatkan bumi", atau "menanam pohon", atau "tidak buang sampah sembarangan", atau "mencegah global warming", atau "(fill in the blank)".
GREEN! Kata ini mulai menjadi mayoritas tema suatu acara sejak adanya isu global warming.
GREEN! Larangan larangan untuk membuang sampah sembarangan pun yang memang sudah mendarah daging, mulai digencarkan sejak adanya isu global warming ini.
Dilarang buang sampah sembarangan! Oke, sangat frontal, dan tanpa basa basi, usaha yang cukup baik pun dibuktikan dengan adanya tempat sampah terpisah antara sampah kering dan sampah basah.
Anda tau upil? Upil bisa dedifinisikan sebagai hasil saring bulu hidung atas kotoran kotoran yang masuk melalui medium udara. Sesungguhnya upil ini justru bermanfaat sebagai indikator kinerja bulu hidung seseorang. Bukan menurut dokter, dengan tidak adanya upil berarti tidak ada kotoran yang disaring saat menghirup udara melalui hidung, itu berarti kotoran kotoran yang ada pada udara hirup masuk semua ke badan kita, itu berarti buruk bagi kesehatan.
Aktivitas mengambil upil dengan menggunakan salah satu jari tangan dapat disebut sebagai ngupil. Pertanyaannya, karena upil adalah ampas hasil saringan bulu hidung, apakah upil ini termasuk sampah? Jika tidak, maka termasuk apakah upil itu? Mari hiraukan jawaban tidak, mari fokuskan pada jawaban iya.
Jika upil adalah sampah, adakah orang yang membuang upil pada tempatnya? Pertanyaanpun bertambah, apakah ada tempat pembuangan upil? Pertanyaan kian bertambah, kemana selama ini Anda membuang upil?
"KEMANA SELAMA INI ANDA MEMBUANG UPIL?", yang pasti Anda membuang upil ke tempat yang tidak pernah Anda ingat. Banyak metode dalam membuang upil ini, dari cara diam-diam, menempelnya pada suatu bidang datar, sampai menyentilnya tanpa sudut sinus yang jelas. Lalu kemana upil itu berakhir?
Tapi satu hal juga yang patut dibingungkan, jika memang upil bebas untuk dibuang kemana saja, tanpa ada orang yang hirau, kenapa tidak pernah ada penumpukan upil berlebihan? Dan apakah upil termasuk ke dalam kelompok objektif pada peringatan "Dilarang buang sampah sembarangan"? Jika iya, maka sukseslah upil menjadi sampah yang mempunyai hak veto untuk dapat dibuang sembarangan, tanpa ada sangsi peraturan yang mengikat.
Karenanya lah postingan ini penuh pertanyaan, dan kerananya lah juga Anda harus menyaring diri sebagai pengupil aktif atau pasif
GREEN! Kata ini mulai menjadi mayoritas tema suatu acara sejak adanya isu global warming.
GREEN! Larangan larangan untuk membuang sampah sembarangan pun yang memang sudah mendarah daging, mulai digencarkan sejak adanya isu global warming ini.
Dilarang buang sampah sembarangan! Oke, sangat frontal, dan tanpa basa basi, usaha yang cukup baik pun dibuktikan dengan adanya tempat sampah terpisah antara sampah kering dan sampah basah.
Anda tau upil? Upil bisa dedifinisikan sebagai hasil saring bulu hidung atas kotoran kotoran yang masuk melalui medium udara. Sesungguhnya upil ini justru bermanfaat sebagai indikator kinerja bulu hidung seseorang. Bukan menurut dokter, dengan tidak adanya upil berarti tidak ada kotoran yang disaring saat menghirup udara melalui hidung, itu berarti kotoran kotoran yang ada pada udara hirup masuk semua ke badan kita, itu berarti buruk bagi kesehatan.
Aktivitas mengambil upil dengan menggunakan salah satu jari tangan dapat disebut sebagai ngupil. Pertanyaannya, karena upil adalah ampas hasil saringan bulu hidung, apakah upil ini termasuk sampah? Jika tidak, maka termasuk apakah upil itu? Mari hiraukan jawaban tidak, mari fokuskan pada jawaban iya.
Jika upil adalah sampah, adakah orang yang membuang upil pada tempatnya? Pertanyaanpun bertambah, apakah ada tempat pembuangan upil? Pertanyaan kian bertambah, kemana selama ini Anda membuang upil?
"KEMANA SELAMA INI ANDA MEMBUANG UPIL?", yang pasti Anda membuang upil ke tempat yang tidak pernah Anda ingat. Banyak metode dalam membuang upil ini, dari cara diam-diam, menempelnya pada suatu bidang datar, sampai menyentilnya tanpa sudut sinus yang jelas. Lalu kemana upil itu berakhir?
Tapi satu hal juga yang patut dibingungkan, jika memang upil bebas untuk dibuang kemana saja, tanpa ada orang yang hirau, kenapa tidak pernah ada penumpukan upil berlebihan? Dan apakah upil termasuk ke dalam kelompok objektif pada peringatan "Dilarang buang sampah sembarangan"? Jika iya, maka sukseslah upil menjadi sampah yang mempunyai hak veto untuk dapat dibuang sembarangan, tanpa ada sangsi peraturan yang mengikat.
Karenanya lah postingan ini penuh pertanyaan, dan kerananya lah juga Anda harus menyaring diri sebagai pengupil aktif atau pasif
Sunday, September 27, 2009
Mengekspresikan Kesan via Lipatan
99,87 % warga Indonesia mempunyai gaya magnet pada mata dengan cermin. Cermin di sini biasa kita sebut sebagai kaca (walaupun secara fisikawi bidang yang memantulkan bayangan disebut cermin, sementara kaca itu yang biasa tembus pandang, contohnya kaca mobil). Hampir seluruh warga Indonesia yang setidaknya mempunyai tempat tinggal permanen maupun portable PASTI dan PASTI akan melirik ke setiap cermin atau bidang yang memantulkan bayangan. Mereka ingin meyakinkan bahwa pada saat itu tampilan luar mereka sudah cukup oke untuk dieksibisi. Dan kegiatan ini biasa kita aliaskan sebagai "Ngaca". Tetapi tidak untuk 0,13 % warga Indonesia lainnya, karena mereka ini tidak menemui cermin atau bidang pantul bayangan lainnya di habitat mereka.
Bukan "Ngaca" yang akan dibahas di sini. Tapi kesadaran diri kita untuk tetap meng-oke kan penampilan luar kita saat berinteraksi dengan populasi. Sudah jelas, tidak ada satupun orang berakal di dunia ini yang tidak ingin penampilan luar mereka kompetitif. Bahkan hal ini bisa dibuktikan dari suatu peristiwa pemotretan yang dispesifikasikan di sini dalam konteks "Narsis". Biasanya hal ini terjadi pada kaum Hawa. Mereka ini biasanya yang paling banyak mempunyai hormon ingin-dipotret di manapun ada lensa kamera yang menghadapnya. Tetapi ketika mereka melihat hasil potretannya, maka 88 % wanita akan berbicara "Dih, jelek banget gue, delete delete", lalu merapihkan rambut mereka, dan meminta sang fotografer untuk memotret mereka di sudut dan posisi yang sama, dengan tujuan untuk menghindari dis-cantik mereka yang tampak pada hasil foto. Itu lah salah satu contoh peristiwa bahwa setiap orang akan tidak terima jika satu momenpun penampilan luar mereka 'rendah'.
Bukan "Ngaca", dan bukan "Narsis" yang akan dilanjutkan bahasannya. Kembali lagi, yaitu kesadaran diri kita untuk tetap meng-oke kan penampilan luar kita saat berinteraksi dengan populasi. Sekarang gua akan mempersempit pembahasannya pada sebuah kegiatan bernama-depan "Ngobrol". Ambil saja contoh terdekat adalah diri kita. Begini kondisinya :
Suatu waktu kita sedang ikut dalam sebuah pembicaraan yang melibatkan lebih dari 2 orang, dimana posisi Anda dan orang-orang sedang berdiri. Lalu sang pembicara sedang berbicara. Maka jika prediksi asal ini tidak salah, yang Anda lakukan ketika pembicara tersebut berbicara, dan Anda sedang mendengarkannya, secara otodidak kedua lengan Anda akan membentuk sebuah lipatan di depan dada, karena Anda tidak tahan jika kedua tangan Anda hanya diam di bawah pada posisi normal (tampak buruk bagi Anda). Lipatan di depan dada ini biasanya akan menimbulkan kesan Saya-Serius-Mendengarkan. Lipatan itu dilakukan semata-mata agar Anda tidak terlihat jelek/aneh, karena bagi Anda sang pelaku, lipatan itu membuat Anda sangat oke dan cukup pede untuk mendengarkan pembicaraan sambil mengiklankan penampilan diri Anda
Sebenarnya tidak hanya pada saat pembicaraan saja lipatan ini dilakukan. Lipatan juga biasa dilakukan pada saat Anda menunggu sesuatu / diam di suatu posisi. Maka Anda akan menaikkan lengan Anda ke depan dada Anda dan kembali melipat kedua lengan Anda. Maka dengan niat untuk mengiklankan tampilan diri, lipatan tersebut akan menimbulkan kesan "Cool"
Dan mungkin masih banyak lipatan lipatan lainnya di waktu yang berbeda sehingga menimbulkan kesan kesan yang berbeda-beda pula. Dunia ini luas, otak manusia berkembang, bukan tidak mungkin akan ada lipatan yang mengekspresikan kesan Ya-Saya-Ingin-Berak.
Jika tidak setuju dengan paragraf-paragraf di atas, cukup sebut "Sok tau lo!" di tempat Anda membaca ini sekarang.
Bukan "Ngaca" yang akan dibahas di sini. Tapi kesadaran diri kita untuk tetap meng-oke kan penampilan luar kita saat berinteraksi dengan populasi. Sudah jelas, tidak ada satupun orang berakal di dunia ini yang tidak ingin penampilan luar mereka kompetitif. Bahkan hal ini bisa dibuktikan dari suatu peristiwa pemotretan yang dispesifikasikan di sini dalam konteks "Narsis". Biasanya hal ini terjadi pada kaum Hawa. Mereka ini biasanya yang paling banyak mempunyai hormon ingin-dipotret di manapun ada lensa kamera yang menghadapnya. Tetapi ketika mereka melihat hasil potretannya, maka 88 % wanita akan berbicara "Dih, jelek banget gue, delete delete", lalu merapihkan rambut mereka, dan meminta sang fotografer untuk memotret mereka di sudut dan posisi yang sama, dengan tujuan untuk menghindari dis-cantik mereka yang tampak pada hasil foto. Itu lah salah satu contoh peristiwa bahwa setiap orang akan tidak terima jika satu momenpun penampilan luar mereka 'rendah'.
Bukan "Ngaca", dan bukan "Narsis" yang akan dilanjutkan bahasannya. Kembali lagi, yaitu kesadaran diri kita untuk tetap meng-oke kan penampilan luar kita saat berinteraksi dengan populasi. Sekarang gua akan mempersempit pembahasannya pada sebuah kegiatan bernama-depan "Ngobrol". Ambil saja contoh terdekat adalah diri kita. Begini kondisinya :
Suatu waktu kita sedang ikut dalam sebuah pembicaraan yang melibatkan lebih dari 2 orang, dimana posisi Anda dan orang-orang sedang berdiri. Lalu sang pembicara sedang berbicara. Maka jika prediksi asal ini tidak salah, yang Anda lakukan ketika pembicara tersebut berbicara, dan Anda sedang mendengarkannya, secara otodidak kedua lengan Anda akan membentuk sebuah lipatan di depan dada, karena Anda tidak tahan jika kedua tangan Anda hanya diam di bawah pada posisi normal (tampak buruk bagi Anda). Lipatan di depan dada ini biasanya akan menimbulkan kesan Saya-Serius-Mendengarkan. Lipatan itu dilakukan semata-mata agar Anda tidak terlihat jelek/aneh, karena bagi Anda sang pelaku, lipatan itu membuat Anda sangat oke dan cukup pede untuk mendengarkan pembicaraan sambil mengiklankan penampilan diri Anda
Sebenarnya tidak hanya pada saat pembicaraan saja lipatan ini dilakukan. Lipatan juga biasa dilakukan pada saat Anda menunggu sesuatu / diam di suatu posisi. Maka Anda akan menaikkan lengan Anda ke depan dada Anda dan kembali melipat kedua lengan Anda. Maka dengan niat untuk mengiklankan tampilan diri, lipatan tersebut akan menimbulkan kesan "Cool"
Dan mungkin masih banyak lipatan lipatan lainnya di waktu yang berbeda sehingga menimbulkan kesan kesan yang berbeda-beda pula. Dunia ini luas, otak manusia berkembang, bukan tidak mungkin akan ada lipatan yang mengekspresikan kesan Ya-Saya-Ingin-Berak.
Jika tidak setuju dengan paragraf-paragraf di atas, cukup sebut "Sok tau lo!" di tempat Anda membaca ini sekarang.
Tuesday, September 8, 2009
Distorsi Motorwicara
Mungkin topik yang satu ini adalah fakta paling nyata atas ke-sok-tau-an gua dalam memainkan hidup. Tau motor kan? Posisi apa yang paling sering Anda praktekan di motor dalam kehidupan sehidup-hidup? Yang membawa motor? Atau yang dibonceng? Jika jawaban Anda adalah posisi dibonceng, maka ini adalah topik yang paling pas untuk Anda.
Manusia hidup sebagai makhluk sosial, itu adalah peran relatif yang pasti dipelajari saat manusia mulai mengkaji pelajaran sekolah dasar. Definisinya begini, manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tetapi juga tidak bisa hidup tanpa adanya komunikasi antar manusia. Komunikasi berguna untuk menjalin hubungan sosial dengan manusia lain. Tanpa adanya komunikasi, mungkin gua menulis blog ini dalam tatanan huruf poliklinik. Tanpa adanya komunikasi, mungkin orang yang kebelet berak nggak bakal bisa gedor gedor pintu kamar mandi yang terisi buat teriak teriak menuntut hak keberakkannya. Dan juga, faktanya manusia dapat memperoleh sensasi bosan ketika komunikasi makin berkurang, lama lama akan berakibat kantuk. Intinya, komunikasi adalah resleting hidup, yang jika tidak bisa dibuka, maka kebutuhan kita untuk dibantu tidak dapat tersalurkan. Rasa kantuk yang dapat ditimbulkan dari kurangnya kapasitas komunikasi suatu aktivitas, dapat berakibat fatal bagi kaum Dibonceng. Jika tidur di motor, posisi meleset, nyawa berakhir ngaco. Jadi, kita butuh suatu komunikasi ketika kita berbonceng. Mungkin ini dapat dijadikan salah satu rukun berbonceng.
Adat istiadat dalam komunikasi berbonceng ini gua sebut sebagai motorwicara, pembicaraan di motor. Kadang motorwicara dimulai dari pengambilan topik, menengok, dan berbicara. Hal itu biasa dilakukan oleh pengendara. Jika dilakukan oleh pebonceng, maka tahapnya adalah pengambilan topik, mendekatkan kepala dengan kepala, lalu berbicara. Namun aktivitas yang terlihat mudah ini ternyata memiliki gangguan yang sangat kompleks. Sebut saja gangguan itu sebagai distorsi.
Unsur utama dari suatu senyawa distorsi adalah suara. Suara ini terdiri dari berbagai jenis suara, angin, mesin, klakson, dan unsur lainnya. Unsur-unsur distorsi tersebut dapat terjadi secara individu, atau juga secara bersamaan. Ironisnya, distorsi ini selalu terjadi di setiap tahap Berbicara suatu motorwicara. Maka tidak sedikit pebonceng yang sok sok mengerti apa yang dibicarakan oleh pengendara. Sebagai contoh, ini adalah suatu ilustrasi dan klasifikasi dis-motorwicara yang kerap terjadi pada aktivitas bermotor di berbagai belahan dunia.
1. Kasus Jawaban Kurang Interaktif
Pengendara : "COY, BESOK KITA JAM BERAPA BERANGKAT DARI RUMAH?"
Pebonceng : "IYA KAYAKNYA, HAHAHAH."
(Ciri : pengendara mengeluarkan kata tanya dengan lantang untuk melawan distorsi, pebonceng yang salah tanggap juga melontarkan jawaban nggak nyambung dengan lantang untuk melawan distorsi dan ditambah aksen tertawa agar terkesan nyambung)
2. Kasus Agar Dikata Peduli
Pengendara : "KITA TADI SEHARUSNYA BISA TUH NGE-GOL-IN SATU ANGKA LAGI!"
Pebonceng : "mmm, haha"
Pengendara : "IRWAN AJA TUH TADI YANG KELAMAAN NGOPERNYA"
Pebonceng : "haha"
Pengendara : "LO BESOK GIMANA BERANGKAT DARI RUMAHNYA?"
Pebonceng : "kayaknya sih, haha, iya iya"
(Ciri : Pengendara mengeluarkan kata pernyataan/curhatan dengan lantang untuk melawan distorsi, pebonceng yang tidak jelas mendengar karena distorsi hanya menjawab dengan ekspresi 'berpikir' sebagai tanggapan peduli dan suara yang pelan untuk menghindari kesalahan kepedulian lalu ditambah aksen tertawa agar terkesan nyambung)
Maka, berdasarkan contoh-contoh kasus non-fiksi di atas, sebaiknya kita jujur pada diri kita sendiri dan khususnya pengendara, apabila kita tidak mendengar jelas pembicaraan yang dilakukan. Dalam tatanan peristiwa ini, mungkin mobilwicara lebih aman dilakukan, karena bebas dari ancaman distorsi distorsi yang kian mengganggu jalannya suatu komunikasi sosial.
Manusia hidup sebagai makhluk sosial, itu adalah peran relatif yang pasti dipelajari saat manusia mulai mengkaji pelajaran sekolah dasar. Definisinya begini, manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tetapi juga tidak bisa hidup tanpa adanya komunikasi antar manusia. Komunikasi berguna untuk menjalin hubungan sosial dengan manusia lain. Tanpa adanya komunikasi, mungkin gua menulis blog ini dalam tatanan huruf poliklinik. Tanpa adanya komunikasi, mungkin orang yang kebelet berak nggak bakal bisa gedor gedor pintu kamar mandi yang terisi buat teriak teriak menuntut hak keberakkannya. Dan juga, faktanya manusia dapat memperoleh sensasi bosan ketika komunikasi makin berkurang, lama lama akan berakibat kantuk. Intinya, komunikasi adalah resleting hidup, yang jika tidak bisa dibuka, maka kebutuhan kita untuk dibantu tidak dapat tersalurkan. Rasa kantuk yang dapat ditimbulkan dari kurangnya kapasitas komunikasi suatu aktivitas, dapat berakibat fatal bagi kaum Dibonceng. Jika tidur di motor, posisi meleset, nyawa berakhir ngaco. Jadi, kita butuh suatu komunikasi ketika kita berbonceng. Mungkin ini dapat dijadikan salah satu rukun berbonceng.
Adat istiadat dalam komunikasi berbonceng ini gua sebut sebagai motorwicara, pembicaraan di motor. Kadang motorwicara dimulai dari pengambilan topik, menengok, dan berbicara. Hal itu biasa dilakukan oleh pengendara. Jika dilakukan oleh pebonceng, maka tahapnya adalah pengambilan topik, mendekatkan kepala dengan kepala, lalu berbicara. Namun aktivitas yang terlihat mudah ini ternyata memiliki gangguan yang sangat kompleks. Sebut saja gangguan itu sebagai distorsi.
Unsur utama dari suatu senyawa distorsi adalah suara. Suara ini terdiri dari berbagai jenis suara, angin, mesin, klakson, dan unsur lainnya. Unsur-unsur distorsi tersebut dapat terjadi secara individu, atau juga secara bersamaan. Ironisnya, distorsi ini selalu terjadi di setiap tahap Berbicara suatu motorwicara. Maka tidak sedikit pebonceng yang sok sok mengerti apa yang dibicarakan oleh pengendara. Sebagai contoh, ini adalah suatu ilustrasi dan klasifikasi dis-motorwicara yang kerap terjadi pada aktivitas bermotor di berbagai belahan dunia.
1. Kasus Jawaban Kurang Interaktif
Pengendara : "COY, BESOK KITA JAM BERAPA BERANGKAT DARI RUMAH?"
Pebonceng : "IYA KAYAKNYA, HAHAHAH."
(Ciri : pengendara mengeluarkan kata tanya dengan lantang untuk melawan distorsi, pebonceng yang salah tanggap juga melontarkan jawaban nggak nyambung dengan lantang untuk melawan distorsi dan ditambah aksen tertawa agar terkesan nyambung)
2. Kasus Agar Dikata Peduli
Pengendara : "KITA TADI SEHARUSNYA BISA TUH NGE-GOL-IN SATU ANGKA LAGI!"
Pebonceng : "mmm, haha"
Pengendara : "IRWAN AJA TUH TADI YANG KELAMAAN NGOPERNYA"
Pebonceng : "haha"
Pengendara : "LO BESOK GIMANA BERANGKAT DARI RUMAHNYA?"
Pebonceng : "kayaknya sih, haha, iya iya"
(Ciri : Pengendara mengeluarkan kata pernyataan/curhatan dengan lantang untuk melawan distorsi, pebonceng yang tidak jelas mendengar karena distorsi hanya menjawab dengan ekspresi 'berpikir' sebagai tanggapan peduli dan suara yang pelan untuk menghindari kesalahan kepedulian lalu ditambah aksen tertawa agar terkesan nyambung)
Maka, berdasarkan contoh-contoh kasus non-fiksi di atas, sebaiknya kita jujur pada diri kita sendiri dan khususnya pengendara, apabila kita tidak mendengar jelas pembicaraan yang dilakukan. Dalam tatanan peristiwa ini, mungkin mobilwicara lebih aman dilakukan, karena bebas dari ancaman distorsi distorsi yang kian mengganggu jalannya suatu komunikasi sosial.
Thursday, August 27, 2009
Bosan Ada Di Bawah Telapak Kaki Diri
Solat Jum'at. Orang orang muslim selalu bilang itu pada beberapa jam sebelum zuhur pada hari jumat, "Nggak bisa, gua solat jumat dulu nanti", "Solat jumat dimana nih?", atau "Solat jumat nggak ya?". Sok-tau-nya gua, definisi empiris dari solat jumat itu adalah sebuah ibadah wajib yang bertujuan mempererat tali silaturahim sesama muslim, yang isunya fungsi utama itu udah nggak terlalu diperhatiin lagi sama orang orang muslim. Bukan, bukan solat jumat atau hal reliji lainnya yang pengen gua bahas di sini, tapi apa yang biasa dilakukan oleh mayoritas kependudukan mesjid pelaksana solat jumat dalam melaksanaan solat jumat itu sendiri. Begini tata caranya, si pelaksana sampai di mesjid, duduk di tangga tepat di atas pesan 'Batas Suci', melepas ikatan tali sepatu bagi pemakainya atau melepas sendal bagi pemakainya, lalu ke tempat wudhu, wudhu, keluar tempat wudhu yang apabila berpapasan dengan bidang cermin datar maka kita akan transit untuk meyakinkan diri bahwa diri kita adalah ganteng dengan pose pose sudut kemiringan abstrak, mencari tempat duduk yang pas, duduk, mendengarkan ceramah, lalu solat. Lantas, dimana letak permasalahannya?
Ceramah, ceramah agama, menurut survei spontanitas mata Indonesia remaja, 9% memperhatikan dengan seksama ceramah tersebut, 14% sudah terlampau tidur dengan posisi duduknya, 19% anak anak yang bermain, 21% diam tanpa perlakuan, dan 37% berbicara dengan teman sebelahnya. 5 kaum dalam 1 kegiatan. Mungkin semua mempunyai kesamaan dalam soal keadaan, mereka berada di tempat yang sama dan waktu yang sama, juga tujuan yang sama. Tapi, apa ada perbedaannya? Ya! Jelas terlihat perbedaannya, jika dilihat, 4 kaum mempunyai kegiatan yang ia tekuni saat sesi ceramah agama, tapi apa yang dilakukan 1 kaum lagi? Hanya kaum 21%, kaum yang diam tanpa perlakuan, hanya kaum itu yang tidak mempunyai kegiatan tertekuni. Lalu kenapa? Sebenarnya, jika dilihat melalui mikroskop keisengan, perbedaan tadi akan sirna apabila lensa okuler didekatkan pada kaki para kaum 21% itu.
Ternyata mereka mempunyai kegiatan rutin dibalik kediaman yang mereka lakukan, yaitu 'Merusak Kaki'. Sadar? Atau justru menjadi pelaku? Entah kegiatan tersebut dapat diklasifikasikan dalam orde permainan, rutinitas, acara formal, atau ketiganya. Tapi satu yang jelas, mereka 'Merusak Kaki' untuk kabur dari atmosfer kebosanan yang dialami. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan di kaki itu. Karena gua juga salah satu pemain olahraga dinamis ini, jadi gua juga sedikit tau apa saja yang dilakukan. Kadang ada yang mengelupas kulit kaki bagian bawah mereka tanpa peduli kuantitas kulit yang mereka miliki. Mereka menguliti telapak kaki bagian bawah, atau biasanya juga menguliti bagian pinggir kulit dari ibu jari kaki. Tujuannya? Nihil! Tapi justru mereka sangat asik berpatisipasi dalam gerakan menguliti kaki mereka. Siapa yang tidak bermuka serius ketika menguliti telapak kaki saat ceramah tersebut, berbagai macam kurva bibir muncul sebagai responden keseriusan aktivitas mereka. Ironis memang, bahwa non-fiksinya, kegiatan tersebut juga dapat membuat suatu 'Parfum Atom'. Ada sebagaian dari mereka yang tidak melakukan kegiatan menguliti, tetapi mengukukan. Mengukukan berarti mengelupas kuku kuku yang terlihat panjang dan berpotensi untuk dikelupas. Kuku ibu jari kaki adalah prioritas utama. Dan apabila kuku panjang sudah tercabut dari ibu jari, maka, tidak sedikit dari kaum 21% yang memasukan kegiatan mencium kuku kaki sebagai hobi utama dalam motivasi dalam suatu organisasi ke-bosanan. Kuku kaki itulah yang dapat kita subjekkan sebagai produsen utama dari prouduk 'Parfum Atom'. Ukurannya yang 'Atom', dan baunya yang 'ATOM'. Tapi 'Parfum Atom' ini hanya dapat dinikmati oleh si pemilik kuku itu. Namun berbahaya nantinya apabila terdapat partisipan lain yang ikut mencium 'Parfum Atom' tersebut.
Kaya akan kegiatan bukan telapak kaki kita?
Ceramah, ceramah agama, menurut survei spontanitas mata Indonesia remaja, 9% memperhatikan dengan seksama ceramah tersebut, 14% sudah terlampau tidur dengan posisi duduknya, 19% anak anak yang bermain, 21% diam tanpa perlakuan, dan 37% berbicara dengan teman sebelahnya. 5 kaum dalam 1 kegiatan. Mungkin semua mempunyai kesamaan dalam soal keadaan, mereka berada di tempat yang sama dan waktu yang sama, juga tujuan yang sama. Tapi, apa ada perbedaannya? Ya! Jelas terlihat perbedaannya, jika dilihat, 4 kaum mempunyai kegiatan yang ia tekuni saat sesi ceramah agama, tapi apa yang dilakukan 1 kaum lagi? Hanya kaum 21%, kaum yang diam tanpa perlakuan, hanya kaum itu yang tidak mempunyai kegiatan tertekuni. Lalu kenapa? Sebenarnya, jika dilihat melalui mikroskop keisengan, perbedaan tadi akan sirna apabila lensa okuler didekatkan pada kaki para kaum 21% itu.
Ternyata mereka mempunyai kegiatan rutin dibalik kediaman yang mereka lakukan, yaitu 'Merusak Kaki'. Sadar? Atau justru menjadi pelaku? Entah kegiatan tersebut dapat diklasifikasikan dalam orde permainan, rutinitas, acara formal, atau ketiganya. Tapi satu yang jelas, mereka 'Merusak Kaki' untuk kabur dari atmosfer kebosanan yang dialami. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan di kaki itu. Karena gua juga salah satu pemain olahraga dinamis ini, jadi gua juga sedikit tau apa saja yang dilakukan. Kadang ada yang mengelupas kulit kaki bagian bawah mereka tanpa peduli kuantitas kulit yang mereka miliki. Mereka menguliti telapak kaki bagian bawah, atau biasanya juga menguliti bagian pinggir kulit dari ibu jari kaki. Tujuannya? Nihil! Tapi justru mereka sangat asik berpatisipasi dalam gerakan menguliti kaki mereka. Siapa yang tidak bermuka serius ketika menguliti telapak kaki saat ceramah tersebut, berbagai macam kurva bibir muncul sebagai responden keseriusan aktivitas mereka. Ironis memang, bahwa non-fiksinya, kegiatan tersebut juga dapat membuat suatu 'Parfum Atom'. Ada sebagaian dari mereka yang tidak melakukan kegiatan menguliti, tetapi mengukukan. Mengukukan berarti mengelupas kuku kuku yang terlihat panjang dan berpotensi untuk dikelupas. Kuku ibu jari kaki adalah prioritas utama. Dan apabila kuku panjang sudah tercabut dari ibu jari, maka, tidak sedikit dari kaum 21% yang memasukan kegiatan mencium kuku kaki sebagai hobi utama dalam motivasi dalam suatu organisasi ke-bosanan. Kuku kaki itulah yang dapat kita subjekkan sebagai produsen utama dari prouduk 'Parfum Atom'. Ukurannya yang 'Atom', dan baunya yang 'ATOM'. Tapi 'Parfum Atom' ini hanya dapat dinikmati oleh si pemilik kuku itu. Namun berbahaya nantinya apabila terdapat partisipan lain yang ikut mencium 'Parfum Atom' tersebut.
Kaya akan kegiatan bukan telapak kaki kita?
Tak Jempol, Tradisional dan Tenar
Tau nggak, permainan menyebut angka dan menyamakannya dengan jumlah jempol yang berdiri, biasanya dimainkan oleh minimal dua orang dan maksimal tak hingga. Sistem permainannya begini, misalkan yang main dua orang, maka dua orang itu saling berhadapan kemudian menyatukan kedua kepalan tangan mereka dengan posisi jempol berada di atas. Lalu mereka bermain bergiliran, jika giliran si A, maka si A akan menyebut angka yang limitnya berkisar antara 0 - x. X=jumlah maksimal jempol yang ada, jika 2 orang berarti 4 jempol. Lalu si A akan menyebut angka tersebut, imajinasikan saja si A menyebut "TIGA!", lalu kedua pemain akan mendirikan jempol mereka dari posisi tidur dengan sesuka hati, lalu jumlah jempol yang berdiri akan dihitung, apabila jumlah jempol yang berdiri sama dengan angka yang disebut, maka si A dinyatakan menang dalam gilirannya, lalu dia menarik satu kepalan tangannya ke belakang, dan sisalah 1 kepalan tangan lagi. Aturan menangnya begini, siapa yang cepat menghabiskan kepalan tangannya, maka si X itu yang menang, jadi setiap pemain membutuhkan dua kemenangan untuk memenangkan pertandingan. Kebayang?
Kemudian timbul pertanyaan, diskusi, debat, dalam koordinasi otak gua, kapan permainan itu pertama kali dipopulerkan? Darimana asal permainan itu? Siapa yang membuat tata cara permainan itu? Darimana idenya? Siapa yang mempopulerkan? Apa gua yang terlalu ke-desaan sehingga gua nggak tau asal muasal permainan itu. Apa itu asli dari Indonesia? Apabila iya, gua bakal bangga, dan kenapa nggak untuk mengadakan olimpiade permainan itu, seru, menantang, menegangkan, menguji adrenalin, ramai, dan asik. Gua sendiri termasuk pemain permainan itu, gua sering memainkan itu dikala waktu bosan sedang mendengarkan/menunggu/metidakngapangapain. Walaupun gua belum pernah masuk dalam timnas permainan itu.
Permainan itu? 6 kosa kata, kata ayah gua, yang namanya nama panggilan itu, tidak afdol jika lebih dari 3 kosa kata. Apapun itu pendapatnya, apapun tanggapan yang datang atas ke-sok-tau-an gua ini, gua sebut permainan itu sebagai TAK JEMPOL
Kemudian timbul pertanyaan, diskusi, debat, dalam koordinasi otak gua, kapan permainan itu pertama kali dipopulerkan? Darimana asal permainan itu? Siapa yang membuat tata cara permainan itu? Darimana idenya? Siapa yang mempopulerkan? Apa gua yang terlalu ke-desaan sehingga gua nggak tau asal muasal permainan itu. Apa itu asli dari Indonesia? Apabila iya, gua bakal bangga, dan kenapa nggak untuk mengadakan olimpiade permainan itu, seru, menantang, menegangkan, menguji adrenalin, ramai, dan asik. Gua sendiri termasuk pemain permainan itu, gua sering memainkan itu dikala waktu bosan sedang mendengarkan/menunggu/metidakngapangapain. Walaupun gua belum pernah masuk dalam timnas permainan itu.
Permainan itu? 6 kosa kata, kata ayah gua, yang namanya nama panggilan itu, tidak afdol jika lebih dari 3 kosa kata. Apapun itu pendapatnya, apapun tanggapan yang datang atas ke-sok-tau-an gua ini, gua sebut permainan itu sebagai TAK JEMPOL
Gapura Manusia 'Heng'
Gapura, pintu masuk, yang keliatan pertama, hiasan, anggap ini sebagai introduksi, sinopsis, ada apa dengan Manusia 'Heng', ada apa dengan sekeliling gua, dan ada apa dengan gua yang menulis blog ini. Gua Fendi, cuman panggilan itu yang sering lalu lalang di kuping selama 16 tahun 6 bulan gua hidup.
Manusia 'Heng', dua buah kata yang gua terjemahkan secara frontal dari kata Hangman. Ini membuat koordinasi otak gua mengingat sama kejadian beberapa jam silam di rumah temen satu tempat les gua, anggep aja ibunya menuliskan Gundam pada akte kelahirannya. Kebetulan tadi siang sepulang gua sekolah, gua ngebantuin si Gundam nginstall+ngajarin adob toko foto di rumah Gundam. Di tengah kesibukan nginstall, kurang lebih terjadi percakapan antara Gundam dan gua,
Gua : "yaudah, jadi mau gambar apa nih?"
Gundam : "apa ya fen, gua bingung mau gambar apa, gua nggak bisa gambar"
Gua : "jailah, apa kek, apa yang lo bisa gambar ya gambar aja, entar discan"
Gundam : "nggak bisa fen, nih (ngegambar), tuh, gua cuman bisa gambar hangman, gua nggak bisa gambar orang orang gitu"
Hangman, Hengmen, Hangman, Hengmen, gua mulai sedikit tertarik sama makhluk legendaris itu, Hangman. Yang gua tau, dan yang gua sok-tau, hangman itu mainan tebak kata berdasarkan petunjuk-petunjuk yang berujung kematian. Kematian itu disimbolkan sama gambar garis yang nunjukin kalo itu adalah orang yang digantung mati. Apa hangman itu berhubungan sama orang yang rela digantung-gantung setiap permainan dimulai, apa hangman dengan hang yang berhubungan dengan komputer konslet. Simpel, anak kecil selalu menggambar orang dengan struktur yang serupa dengan karakter utama pada permainan Hangman ini, apa karena sama maka si Gundam nyebut bahwa dia cuman bisa gambar hangman, sebuah kepala lingkaran, dan garis yang menyerupai badan, tangan, dan kaki. Tapi siapa sangka, setelah gua iseng-iseng, justru hangman ini bisa ngasih berlima koma dua juta informasi dengan posisi tangan, kaki, dan badan yang berbeda. Ini ngingetin gua sama pelajaran tempat les gambar gua yang hobi ngecat dinding vilanya sama warna merah, kata salah satu gurunya, garis itu udah cukup bisa ngasih suatu informasi, sebuah kesan. Kumpulan garis ini yang sekarang lagi gua blog-in, kumpulan garis yang ngasih informasi bahwa bentuk itu adalah hangman. Ini udah nunjukin bahwa bagian kompleks dari anatomi badan manusia bisa disimplikasikan dengan 6 buah garis, menjadi sebuah Hangman.
Hangman, apa nggak ada kata yang lebih ngewakilin kumpulan 6 buah garis ini? Apa emang udah melewati proses labeling sehingga menjadi suatu hukum yang nyebut apapun itu informasi dari si Hangman ini, dia adalah Hangman. 6 buah garis, 1 garis kepala, 1 garis badan, 2 garis tangan, dan 2 garis kaki. simpel, tetapi bermakna kompleks.
Nggak, nggak, bukan karena Raditya Dika sukses ngonvert blognya menjadi buku sukses, bukan karena gua dapet banyak inspirasi dari film Kambing Jantan, bukan karena gua pengen hidup gua dinarasikan, bukan karena tuntutan hukum positif sosial remaja, bukan karena iseng gua nulis blog ini.
Gua cuman pengen nyampein hal-hal simpel dalam visual audio kehidupan kita sehari-hari dalam bentuk yang kompleks. Bukan untuk merumitkan kehidupan, tapi justru untuk membuat semuanya sadar, coba berpikir simpel aja dari narasi kompleks akan hal sederhana dalam kehidupan yang rumit ini. Kebanggaan pribadi kalo blog ini bisa nambahin kurva di bibir horizontal pembaca.
Kenapa Manusia 'Heng'? Bahasa Indonesia itu menarik, kaya, fleksibel, kritis. Superman, manusia super, kenapa nggak Hangman, Manusia 'Heng'? Hang atau Heng? Itu bisa dijelaskan sama teori pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selamat menanggapi narasi! Dan gua sok-tau atas semua yang gua tulis di blog ini
Manusia 'Heng', dua buah kata yang gua terjemahkan secara frontal dari kata Hangman. Ini membuat koordinasi otak gua mengingat sama kejadian beberapa jam silam di rumah temen satu tempat les gua, anggep aja ibunya menuliskan Gundam pada akte kelahirannya. Kebetulan tadi siang sepulang gua sekolah, gua ngebantuin si Gundam nginstall+ngajarin adob toko foto di rumah Gundam. Di tengah kesibukan nginstall, kurang lebih terjadi percakapan antara Gundam dan gua,
Gua : "yaudah, jadi mau gambar apa nih?"
Gundam : "apa ya fen, gua bingung mau gambar apa, gua nggak bisa gambar"
Gua : "jailah, apa kek, apa yang lo bisa gambar ya gambar aja, entar discan"
Gundam : "nggak bisa fen, nih (ngegambar), tuh, gua cuman bisa gambar hangman, gua nggak bisa gambar orang orang gitu"
Hangman, Hengmen, Hangman, Hengmen, gua mulai sedikit tertarik sama makhluk legendaris itu, Hangman. Yang gua tau, dan yang gua sok-tau, hangman itu mainan tebak kata berdasarkan petunjuk-petunjuk yang berujung kematian. Kematian itu disimbolkan sama gambar garis yang nunjukin kalo itu adalah orang yang digantung mati. Apa hangman itu berhubungan sama orang yang rela digantung-gantung setiap permainan dimulai, apa hangman dengan hang yang berhubungan dengan komputer konslet. Simpel, anak kecil selalu menggambar orang dengan struktur yang serupa dengan karakter utama pada permainan Hangman ini, apa karena sama maka si Gundam nyebut bahwa dia cuman bisa gambar hangman, sebuah kepala lingkaran, dan garis yang menyerupai badan, tangan, dan kaki. Tapi siapa sangka, setelah gua iseng-iseng, justru hangman ini bisa ngasih berlima koma dua juta informasi dengan posisi tangan, kaki, dan badan yang berbeda. Ini ngingetin gua sama pelajaran tempat les gambar gua yang hobi ngecat dinding vilanya sama warna merah, kata salah satu gurunya, garis itu udah cukup bisa ngasih suatu informasi, sebuah kesan. Kumpulan garis ini yang sekarang lagi gua blog-in, kumpulan garis yang ngasih informasi bahwa bentuk itu adalah hangman. Ini udah nunjukin bahwa bagian kompleks dari anatomi badan manusia bisa disimplikasikan dengan 6 buah garis, menjadi sebuah Hangman.
Hangman, apa nggak ada kata yang lebih ngewakilin kumpulan 6 buah garis ini? Apa emang udah melewati proses labeling sehingga menjadi suatu hukum yang nyebut apapun itu informasi dari si Hangman ini, dia adalah Hangman. 6 buah garis, 1 garis kepala, 1 garis badan, 2 garis tangan, dan 2 garis kaki. simpel, tetapi bermakna kompleks.
Nggak, nggak, bukan karena Raditya Dika sukses ngonvert blognya menjadi buku sukses, bukan karena gua dapet banyak inspirasi dari film Kambing Jantan, bukan karena gua pengen hidup gua dinarasikan, bukan karena tuntutan hukum positif sosial remaja, bukan karena iseng gua nulis blog ini.
Gua cuman pengen nyampein hal-hal simpel dalam visual audio kehidupan kita sehari-hari dalam bentuk yang kompleks. Bukan untuk merumitkan kehidupan, tapi justru untuk membuat semuanya sadar, coba berpikir simpel aja dari narasi kompleks akan hal sederhana dalam kehidupan yang rumit ini. Kebanggaan pribadi kalo blog ini bisa nambahin kurva di bibir horizontal pembaca.
Kenapa Manusia 'Heng'? Bahasa Indonesia itu menarik, kaya, fleksibel, kritis. Superman, manusia super, kenapa nggak Hangman, Manusia 'Heng'? Hang atau Heng? Itu bisa dijelaskan sama teori pelafalan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selamat menanggapi narasi! Dan gua sok-tau atas semua yang gua tulis di blog ini
Subscribe to:
Posts (Atom)